This book includes a plain text version that is designed for high accessibility. To use this version please follow this link.
Kesimpulan dan rekomendasi


Habitat orangutan sumatera terancam oleh deforestasi dengan tekanan paling tinggi pada lahan gambut yang kaya karbon. Pada tingkat kehilangan hutan pada saat ini, salah satu dari tiga daerah gambut paling luas yang masih tersisa adalah wilayah Tripa di Aceh, suatu wilayah yang hutan alamnya diperkirakan akan benar-benar hilang pada 2015/2016. Kehilangan hutan di lahan gambut dan non-gambut selalu disertai dengan kehilangan besar pada keanekaragaman hayati di daerah itu. Melalu skenario bisnis seperti biasa (BAU) orangutan di Tripa akan sangat mungkin mengalami kepunahan lokal pada 2015/2016, dimana pada tahun 1990 orangutan di daerah Tripa diperkirakan masih lebih dari 1.000 individu. Dalam Kawasan Ekosistem Leuser, sekitar 79% deforestasi yang terjadi di lahan gambut selama 1985-2007 didorong oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit. Di hutan non- lahan gambut persentase ini jauh lebih rendah (19%) dan sebagian besar deforestasi didorong oleh kombinasi agroforestri campuran, karet dan kemiri. Hilangnya hutan ini memiliki dampak negatif terhadap jasa ekosistem hutan.


Salah satu dampak negatif utama dari transisi hutan alam ke penggunaan lahan lainnya adalah berkurangnya cadangan karbon dan emisi yang menyertainya. Emisi tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai negara tertinggi ketiga emisi karbon setelah Amerika Serikat dan Cina. Studi ini menunjukkan bahwa penilaian hutan untuk karbon yang dikandungnya dan jasa ekosistem lainnya dapat bersaing dengan nilai penggunaan lahan lainnya. Saat ini satu-satunya nilai jasa ekosistem di Indonesia yang sudah mendekati realisasi adalah proyek-proyek REDD. Kisaran nilainya 7.420 dolar AS (Rp66.780.000) hingga 22.094 dolar AS (198.846) / ha untuk jangka waktu 25 tahun) untuk emisi CO2


dari deforestasi yang


terhindarkan pada lahan gambut yang hampir seluruhnya lebih tinggi dari penggunaan lahan yang paling menguntungkan lainnya, bahkan juga lebih tinggi dibandingkan dengan kelapa sawit (7.832 dolar AS atau Rp 70.488.000) / ha selama periode 25 tahun). Di salah satu benteng utama orangutan sumatra, Kawasan Ekosistem Leuser, 79% dari deforestasi di lahan gambut didorong oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit dan 21% lainnya oleh penggunaan lahan yang kurang menguntungkan. Di lahan gambut tersebut terdapat sekitar 30% orangutan sumatera, sehingga konservasi melalui skema REDD secara bersamaan dapat mengarah pada konservasi cadangan karbon yang signifikan dan sejumlah besar orangutan.


Nilai hutan di lahan non-gambut melalui skema REDD saat ini adalah USD 3.711 (Rp33.399.000) hingga 11.185 dolar AS (Rp100.665.000) / ha (untuk jangka waktu 25 tahun) lebih tinggi dari nilai semua penggunaan lahan lainnya kecuali kelapa sawit dimana kisaran nilai REDD menunjukkan tumpang tindih dengan nilai kelapa sawit USD 7.832 (Rp70.488.000) / ha (untuk jangka waktu 25 tahun). Karena kebanyakan deforestasi (mencapai 81%) terjadi pada lahan non-gambut di mana sekitar 70% dari jumlah total orangutan sumatera berada, tidak didorong oleh ekspansi kelapa sawit sehingga REDD memiliki potensi besar juga untuk konservasi habitat orangutan non-gambut. Menambahkan potensi pembayaran jasa ekosistem lain untuk REDD akan membuat pendekatan multi-manfaat ini bahkan lebih kompetitif.


72


Namun demikian, juga penting untuk memastikan bahwa konservasi habitat orangutan sumatera tidak mengorbankan peningkatan permintaan akan produk perkebunan dan pertumbuhan ekonomi yang terkait dengan ini. Karena sisa habitat orangutan tinggal sedikit (8.641 km2


), mengalihkan pembangunan perkebunan yang


jauh dari habitat orangutan ke lahan yang bernilai rendah saat ini adalah memungkinkan, karena lahan dengan nilai penggunaan rendah saat ini cukup tersedia di Aceh dan Sumatera Utara (WWF 2010). Untuk mencapai transisi perkebunan yang menjauh dari habitat orangutan menuju ke lahan-lahan yang nilai pakainya saat ini rendah, maka perlu dikembangkan suatu kerangka kerja yang jelas yang dapat memecahkan banyak masalah seperti kepemilikan tanah, bagaimana menangani transfer pembangunan perkebunan dari satu area ke area lain, dan masalah pendanaan.


Selain mengarahkan ekspansi perkebunan pada kebutuhan yang jelas untuk membuat perkebunan yang ada sekarang seintensif mungkin memasok permintaan yang tumbuh tanpa mengembangkan lahan perkebunan baru dengan mengorbankan hutan. Tentu di industri kelapa sawit ada banyak kesempatan untuk meningkatkan hasil melalui praktik manajemen yang lebih baik.


Dengan demikian pengembangan Ekonomi Hijau bisa menghasilkan situasi yang saling menguntungkan di mana habitat orangutan dilestarikan, jasa ekosistem dipelihara dan pertumbuhan ekonomi tetap berlanjut.


Indonesia telah mengambil langkah-langkah penting pertama menuju realisasi masa depan dimana pertumbuhan ekonomi dan konservasi dapat bersinergi. Pemerintah telah muncul sebagai pemimpin politik dunia dalam menanggulangi perubahan iklim saat Presiden berkomitmen pada tahun 2009 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020, dan hingga 41% dengan bantuan eksternal. Setelah komitmen ini, pemerintah Norwegia dan Indonesia telah menandatangani perjanjian 1 miliar dolar AS (Rp 9 triliun) untuk melestarikan hutan Indonesia dan lahan gambut. Termasuk dalam kesepakatan ini adalah penghentian selama dua tahun semua penerbitan ijin konsesi baru untuk konversi gambut dan hutan alam. Meski menjanjikan, nilai suspensi untuk pengurangan emisi karbon dan konservasi keanekaragaman hayati tergantung pada apakah akan ada kemajuan dibandingkan dengan bisnis seperti biasa (BAU). Untuk mencapai tujuan penghentian itu, sangat penting bahwa hutan alam dan gambut didefinisikan sedemikian rupa sehingga berlaku untuk semua wilayah berhutan, dan bukan terbatas pada Hutan Tanaman (lihat Lampiran 1), dan untuk gambut dari semua kedalaman, dan bukan hanya untuk yang lebih dalam dari 3m. Hutan juga harus didefinisikan dengan cara yang operasional sehingga dapat dipetakan dengan mudah (Kompas 2011, Wich, et al. 2011).


Pada saat yang sama, Indonesia masih menghadapi banyak rintangan yang dapat merusak transisi menuju Ekonomi Hijau dan upaya untuk memfasilitasi transisi ini harus berfokus pada proses perbaikan rencana tata ruang dan peraturan, unit-unit pengelolaan hutan yang tidak efektif, manajemen lahan hutan yang lemah, inkonsistensi kepemilikan lahan, kerangka hukum yang lemah dan kurangnya penegakan hukum yang tegas baik secara nasional dan internasional.


Page 1  |  Page 2  |  Page 3  |  Page 4  |  Page 5  |  Page 6  |  Page 7  |  Page 8  |  Page 9  |  Page 10  |  Page 11  |  Page 12  |  Page 13  |  Page 14  |  Page 15  |  Page 16  |  Page 17  |  Page 18  |  Page 19  |  Page 20  |  Page 21  |  Page 22  |  Page 23  |  Page 24  |  Page 25  |  Page 26  |  Page 27  |  Page 28  |  Page 29  |  Page 30  |  Page 31  |  Page 32  |  Page 33  |  Page 34  |  Page 35  |  Page 36  |  Page 37  |  Page 38  |  Page 39  |  Page 40  |  Page 41  |  Page 42  |  Page 43  |  Page 44  |  Page 45  |  Page 46  |  Page 47  |  Page 48  |  Page 49  |  Page 50  |  Page 51  |  Page 52  |  Page 53  |  Page 54  |  Page 55  |  Page 56  |  Page 57  |  Page 58  |  Page 59  |  Page 60  |  Page 61  |  Page 62  |  Page 63  |  Page 64  |  Page 65  |  Page 66  |  Page 67  |  Page 68  |  Page 69  |  Page 70  |  Page 71  |  Page 72  |  Page 73  |  Page 74  |  Page 75  |  Page 76  |  Page 77  |  Page 78  |  Page 79  |  Page 80  |  Page 81  |  Page 82  |  Page 83  |  Page 84