Terjadinya deforestasi di lahan gambut didorong, terutama oleh perkebunan kelapa sawit (79%). Analisis ekonomi menunjukkan bahwa nilai emisi CO2
dari deforestasi yang dapat terhindarkan
di atas permukaan tanah dan karbon di bawah permukaan tanah lebih tinggi dibandingkan semua penggunaan lahan lainnya, termasuk perkebunan kelapa sawit (7.832 dolar AS atau Rp 70.488.000 / ha) yang rentang nilai karbonnya hampir seluruhnya lebih tinggi (7.420 dollar AS atau Rp66.780.000 hingga 22.094 dolar AS atau Rp198.846.000/ ha). Perbedaan yang terjadi pada hutan tanah mineral karena disini kehilangan karbon di bawah permukaan tanah selama 25 tahun juga dimasukkan. Namun masih ada tantangan pengukuran karbon di bawah tanah karena faktor turunnya tanah, pengelolaan air, dan oksidasi di sepanjang waktu memiliki dampak terhadap emisi dan belum ada prosedur pengukuran standard. Tapi, seperti untuk hutan di tanah mineral, jika mekanisme REDD diimplementasikan maka hilangnya hutan mungkin bisa dihindari.
Masa depan Saat ini ada sekitar 8.641 km2
hutan yang tersisa di mana
ditemukan orangutan. Sebagian besar areal tersebut terdiri dari hutan di lahan non-gambut (7.760 km2
). Jika penggerak
deforestasi untuk daerah ini tetap sama dengan periode 1985- 2007, mekanisme REDD dapat mengimbangi sekitar 81% dari total pemanfaatan lahan yang berubah dan berpotensi ke arah konservasi hutan. Sebuah tambahan alasan yang kuat untuk berganti menuju ke arah konservasi untuk daerah tersebut karena deforestasi di Aceh dan Sumatera Utara sudah termasuk yang terparah di daerah dataran rendah dan sebagai akibatnya sebagian besar areal sisa hutan ada di tanah yang tidak sesuai atau hanya sesuai apabila ada upaya tambahan untuk berbagai kegiatan pertanian. Di samping itu, sebagian daerah ini juga memenuhi syarat sebagai lahan yang seharusnya dilindungi oleh hukum Indonesia, yang berada pada posisi yang diperlukan untuk fungsi penyedia jasa ekosistem. Untuk sisa habitat orangutan di lahan gambut argumen yang sama juga berlaku. Nilai karbon dapat secara potensial mengimbangi sepenuhnya penggunaan lahan lainnya di hutan gambut, termasuk kelapa sawit dan ini saja sudah menjadi alasan kuat untuk mengarahkan pembangunan perkebunan jauh dari lahan gambut. Selain itu, areal lahan gambut yang lebih dalam dari 3 meter harus dilindungi menurut hukum Indonesia karena kedalamannya juga tidak cocok untuk perluasan perkebunan.
Pada saat yang sama adalah penting untuk mempertimbangkan bagaimana Indonesia dapat terus menumbuhkan perekonomian secara keseluruhan, menyediakan kesempatan kerja industri hilir di pedesaan, dan mengambil manfaat dari meningkatnya
permintaan global untuk produk pertanian. Dua pendekatan di sini dapat saling mendukung: pergeseran lahan yang ada dengan "lahan bernilai guna rendah saat ini” (disebut dengan berbagai sebutan seperti “lahan terdegradasi,” “lahan terlantar,” “lahan tertinggal,” “padang alang-alang”) dan meningkatkan produktivitas di lahan yang sudah digunakan untuk pertanian. Ini merupakan hipotesis populer bahwa intensifikasi pertanian akan mengurangi tekanan pada hutan dan memungkinkan lebih banyak lahan untuk disisihkan untuk konservasi. Dalam bentuk yang sederhana hipotesis ‘intensifikasi’ hanya berlaku dalam keadaan yang sangat khusus dan tidak secara umum di Sumatera (Tomich et al. 2001). Sebaliknya, jika pertanian intensif menguntungkan, mungkin juga akan meningkatkan perpindahan penduduk ke pinggiran hutan dan meningkatkan konversi. Hanya pada ‘perekonomian yang tertutup’, tanpa pergerakan tenaga kerja dan dengan permintaan yang kaku, hipotesis intensifikasi bisa relevan. Meskipun tidak langsung dimaksudkan untuk melindungi hutan, opsi-opsi intensifikasi memang masih memungkinkan untuk tujuan konservasi tapi apabila tidak ada konsekuensi langsung yang negatif terhadap sosial dan ekonomi. Hal ini dapat bersinergi dengan pergeseran kebijakan yang meningkatkan ketersediaan dan penggunaan lahan yang pemanfaatannya saat ini rendah, baik dari pandangan ekonomi maupun ekologi. Pandangan makro yang diinginkan bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan dan para pemangku kepentingan keanekaragaman hayati internasional (Koh dan Ghazoul 2010) perlu berdamai dengan insentif dan kesempatan yang saat ini ada yakni pada level pertanian dan perusahaan. Meskipun tidak ada pengurangan pada ‘nilai penggunaan yang rendah saat ini’ yang sering bukan akibat ‘terdegradasi’ dari perspektif kesuburan tanah (van Noordwijk et al. 1997; Santoso et al. 1997), sebagian besar lahan tersebut telah diperdebatkan terkait aturan kepemilikan yang membuat penggunaannya sulit. Kendala teknis untuk intensifikasi dan penggunaan ‘lahan rendah karbon’ bisa diatasi dengan teknologi yang ada, jika ‘kesenjangan hasil’ antara potensi dengan hasil aktual berkurang (Dros 2003; Sheil et al. 2009).
Sebuah alasan sederhana untuk ekspansi tanaman perkebunan pada dekade yang lalu ke daerah gambut relatif karena ketiadaan tuntutan kepemilikan lokal pada tanah, berbeda dengan tanah mineral yang memiliki tutupan hutan yang baik, lahan yang memiliki riwayat penggunaan lahan sebelumnya berkurang. Platform politik untuk menggolongkan ‘lahan hutan tanpa pohon’ untuk digunakan dalam sistem perkebunan berbasis pohon,
bagaimanapun, telah menjadi lebih kecil setelah
harapan-harapan keuangan yang diperbincangkan dalam REDD +. Pergeseran dari sektor perkebunan dari blok yang dikelola secara seragam ke unit produksi berbasis petani kecil adalah layak, dan mungkin memiliki manfaat rangkap secara sosial dan ekonomi, tetapi memerlukan penataan kembali aktor ekonomi dalam model ‘ekonomi hijau’ (Sheil et al. 2009).
Hamparan luas kelapa sawit yang baru ditanam (Nick Lyon/Cockroach Productions)
66
Luas ‘padang alang-alang’ atau kategori sejenis diperkirakan terdapat sekitar 10 juta hektar di Indonesia secara keseluruhan, dengan perubahan secara bertahap (‘peralihan hutan’) di lokasinya (Garrity et al. 1997). Sebuah pencarian lahan dengan cadangan karbon di atas permukaan tanah kurang dari 40 tC/ ha, di luar kategori hutan lindung, di luar lahan pertanian irigasi dan dalam persyaratan iklim dan ketinggian yang diperlukan kelapa sawit maka dihasilkan sekitar 8,5 juta hektar untuk Indonesia secara keseluruhan (Kajian ICRAF yang