Sebagai tambahan pada apa yang diutarakan di atas, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi banyak perjanjian dan konvensi lingkungan hidup internasional (misalnya Konvensi Keanekaragaman Hayati, Konvensi tentang Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar, Konvensi Lahan Basah Penting Internasional, Konvensi Warisan Dunia) dan telah mengintegrasikannya ke dalam hukum nasional. Kebanyakan undang-undang tersebut mendukung konservasi orangutan di tingkat nasional dan internasional. Pada tahun 2007, pemerintah Indonesia juga meluncurkan Strategi Konservasi Orangutan Indonesia dan Rencana Aksi (2007-2017, Kementerian Kehutanan 2009) untuk melindungi orangutan dan habitatnya, yang kemudian dijadikan sebagai peraturan dan diluncurkan secara resmi oleh Presiden.
Meskipun kebijakan dan peraturan di atas sudah ada, kehilangan hutan Sumatera masih terus berlanjut pada tingkat
yang sangat tinggi sebagaimana ditunjukkan pada kajian ini dan sumber lainnya (WWF 2010). Dengan demikian jelas, upaya-upaya tambahan untuk mengurangi kehilangan hutan masih dibutuhkan. Mempersiapkan sistem di mana jasa ekosistem (seperti pengaturan iklim) dinilai dan dibayar adalah upaya menjanjikan yang bisa mengurangi tingkat kehilangan hutan. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang menilai aspek mana dari perlindungan hutan dan rencana tata ruang yang perlu ditingkatkan untuk terciptanya kerangka yang solid dalam implementasi REDD, maka rekomendasinya adalah bahwa upaya yang perlu dilakukan adalah berfokus pada perbaikan proses perencanaan tata ruang yang buruk, peraturan, unit- unit pengelolaan hutan yang tidak efektif, pengelolaan lahan hutan yang lemah, inkonsistensi kedudukan lahan hutan, dan kerangka hukum yang lemah serta kurangnya penegakan hukum yang tegas (BAPPENAS / UN-REDD 2010)