Page 16 of 84
Previous Page     Next Page        Smaller fonts | Larger fonts     Go back to the flash version

Pendahuluan

Pada pertengahan abad ke-19 populasi manusia di dunia masih sekitar 1 miliar, tetapi sekarang sudah mendekati 7 miliar. Tingkat pertumbuhan yang eksponensial ini diiringi dengan peningkatan konsumsi sehingga berdampak dramatis terhadap planet kita (CBD 2010). Sekitar 40% hutan alam dunia hilang dalam 300 tahun terakhir (FAO 2006); sejak tahun 1900 dunia telah kehilangan sekitar 50% dari lahan basah alami, termasuk lahan gambut yang kaya karbon (Moser et al. 1996); tingkat kepunahan spesies yang timbul dari aktivitas manusia diperkirakan mencapai 1.000 kali lebih cepat dibandingkan dengan sejarah laju kepunahan alami (MEA 2005a), dan tingkat kehilangan keanekaragaman hayati terus berlanjut tanpa bisa dikurangi (Butchart et al. 2010). Sementara ini menjadi semakin jelas bahwa hilangnya keanekaragaman hayati cenderung mengurangi produktivitas dan ketahanan ekosistem secara keseluruhan, dan bukti semakin kuat bahwa dalam memelihara proses ekosistem ganda membutuhkan sejumlah besar spesies (Naeem et al. 2009). Dengan demikian, pentingnya melindungi flora dan fauna tidak hanya untuk nilai hakiki mereka, tetapi juga untuk banyak jasa ekosistem pendukung yang dikontribusikan langsung pada

kesejahteraan manusia. Pengaruh keseluruhan dari pertumbuhan populasi manusia yang cepat dan konsumsi adalah bahwa sekitar 60% dari jasa ekosistem dunia, seperti air bersih, makanan, kayu, pengaturan iklim, perlindungan terhadap bencana alam, pengendalian erosi, rekreasi dan sumber obat-obatan, telah rusak parah hanya dalam 50 tahun terakhir (MEA 2005a). Lahan gambut dimana kepadatan tertinggi orangutan ditemukan adalah salah satu penyerap karbon yang paling penting di planet ini. Bahkan, lahan gambut Indonesia menyimpan 54 Gt karbon, lebih besar dari negara tropis lainnya (Joosten 2009).

Hutan hujan tropis, salah satu ekosistem terkaya di planet ini, paling banyak menghadapi dampak, dengan tingkat kehilangan hutan yang tinggi, degradasi dan fragmentasi yang terjadi hanya dalam beberapa dekade terakhir (FAO 2010). Ini tidak berbeda di Indonesia, yang mengalami tingkat kehilangan hutan tertinggi di dunia dan percepatan besar kehilangan hutan terjadi selama lima tahun terakhir (FAO 2010). Perubahan ini mempengaruhi banyak jasa ekosistem yang bermanfaat bagi semua umat manusia dan khususnya 1,6 miliar yang

Pemandangan khas hutan di Sumatera Utara (Perry van Duijnhoven)

16

Previous arrowPrevious Page     Next PageNext arrow        Smaller fonts | Larger fonts     Go back to the flash version
1  |  2  |  3  |  4  |  5  |  6  |  7  |  8  |  9  |  10  |  11  |  12  |  13  |  14  |  15  |  16  |  17  |  18  |  19  |  20  |  21  |  22  |  23  |  24  |  25  |  26  |  27  |  28  |  29  |  30  |  31  |  32  |  33  |  34  |  35  |  36  |  37  |  38  |  39  |  40  |  41  |  42  |  43  |  44  |  45  |  46  |  47  |  48  |  49  |  50  |  51  |  52  |  53  |  54  |  55  |  56  |  57  |  58  |  59  |  60  |  61  |  62  |  63  |  64  |  65  |  66  |  67  |  68  |  69  |  70  |  71  |  72  |  73  |  74  |  75  |  76  |  77  |  78  |  79  |  80  |  81  |  82  |  83  |  84