Page 65 of 84
Previous Page     Next Page        Smaller fonts | Larger fonts     Go back to the flash version

waktu 20 tahun di kedua lokasi fokus (Grafik 3). Di Batang Toru, perubahan penggunaan lahan dan deforestasi menyebabkan kerugian keseluruhan sekitar 10 ton karbon per hektar antara tahun 1994 hingga 2009. Karena eksploitasi

lahan

, hal tersebut sudah sesuai dengan emisi keseluruhan per tahun yakni 634.903 t CO2

t CO2

untuk perkebunan kelapa sawit, lahan gambut di Tripa harus menghadapi penurunan yang jauh lebih signifikan yakni 66 ton karbon per hektar dalam periode 1990-2009. Dalam hal emisi CO2

untuk Batang Toru dan 1.439.499 /year untuk Tripa. Emisi dari Tripa jauh lebih tinggi bila

karbon di bawah tanah diikutkan. Sebagian besar emisi ini adalah akibat peralihan dari hutan primer ke hutan yang sudah terganggu di Batang Toru dan peralihan dari hutan yang tidak terganggu ke perkebunan kelapa sawit di Tripa.

Peralihan penggunaan lahan dari hutan yang tidak terganggu ke lahan lainnya menyebabkan peningkatan profitabilitas karena keuntungan dari hutan yang tidak terganggu ditetapkan nol dalam model saat ini (contohnya, jasa ekosistem tidak dinilai). Jika kita sekarang mempertimbangkan pendekatan REDD di mana emisi CO2 nilai CO2

peralihan penggunaan lahan. Karena tujuan utama di sini adalah konservasi orangutan, fokusnya adalah pada peralihan dari hutan yang tidak terganggu ke penggunaan lahan lainnya. Pada Grafik 3, kita bisa melihat berapa harga yang dibutuhkan per metrik ton CO2

untuk menawarkan insentif ekonomi yang

layak untuk menghindari peralihan di masa lalu dari hutan yang tidak terganggu ke penggunaan lahan lainnya. Untuk peralihan ke penggunaan lahan yang paling menguntungkan,

harganya sedikit di atas 10 dolar AS (Rp. 90.000) per t CO2 sudah cukup untuk mengimbangi peluang pembiayaan di Batang Toru. Untuk Tripa nilai harga ini dapat lebih rendah, karena memiliki cadangan karbon bawah-tanah yang tinggi di lahan gambut (Gambar 4).

ICRAF juga mengkaji opsi-opsi pengelolaan lahan di masa depan dengan menggunakan pola pengujian kondisi ekonomi yang menerapkan skenario yang lebih hijau. Di Tripa, jika eksploitasi tanaman kelapa sawit dipertahankan di dalam

yang dihindarkan memiliki nilai, dapat dihitung yang seharusnya mengimbangi peluang biaya untuk

Grafik 3: Perubahan kepadatan stok karbon di atas permukaan tanah di Batang Toru dan di Tripa.

areal perkebunan kelapa sawit, tapi ada sebagian areal hutan yang disisakan untuk dilestarikan, maka dibutuhkan harga minimum 5,2 dolar AS (Rp 46.800)/t CO2

di pasar karbon

untuk mengimbangi hasil yang dibuat dari bisnis seperti biasa (Business As Usual/BAU) di mana hutan akan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Menghentikan konversi hutan yang tidak terganggu di Batang Toru dengan hutan terganggu atau pertanian akan memerlukan harga minimum 11,5 dolar AS (Rp 103.500) / t CO2

di pasar karbon. Harga-harga

berada dalam kisaran yang dibayarkan untuk proyek-proyek REDD sebesar 9,43 dolar AS (Rp 84.870)/t CO2

hingga 17 dolar AS (Rp 153.000)/t CO2 [dengan harga rata-rata tertimbang

sebesar 13,33 dolar AS (Rp 119.970), data dari proyek REDD 1990-2009 (Hamilton et al. 2009)].

Grafik 4: Peluang pembiayaan untuk peralihan dari hutan ke pemanfaatan lahan lainnya antara 1994-2009 di Tripa dan 1990- 2009 di Batang Toru.

65

Previous arrowPrevious Page     Next PageNext arrow        Smaller fonts | Larger fonts     Go back to the flash version
1  |  2  |  3  |  4  |  5  |  6  |  7  |  8  |  9  |  10  |  11  |  12  |  13  |  14  |  15  |  16  |  17  |  18  |  19  |  20  |  21  |  22  |  23  |  24  |  25  |  26  |  27  |  28  |  29  |  30  |  31  |  32  |  33  |  34  |  35  |  36  |  37  |  38  |  39  |  40  |  41  |  42  |  43  |  44  |  45  |  46  |  47  |  48  |  49  |  50  |  51  |  52  |  53  |  54  |  55  |  56  |  57  |  58  |  59  |  60  |  61  |  62  |  63  |  64  |  65  |  66  |  67  |  68  |  69  |  70  |  71  |  72  |  73  |  74  |  75  |  76  |  77  |  78  |  79  |  80  |  81  |  82  |  83  |  84